BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DPRD Tolak Pajak Warteg
Jakarta - DPRD DKI Jakarta meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengkaji ulang rencana pengenaan pajak pada warung makan kecil. Pengenaan pajak itu akan menambah beban pengusaha kecil dan rakyat miskin.
Menurut anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Selamat Nurdin, Kamis (2/12) di Jakarta Pusat, revisi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah tidak diarahkan untuk membebani usaha mikro dan kecil, seperti warung Tegal, warung Padang, dan warung makan yang beromzet kecil. DPRD meminta Pemprov DKI tidak sembarangan memperluas pajak restoran ke warung-warung kecil karena akan membebani usaha informal.
Selain itu, DPRD juga meminta adanya kajian ulang mengenai besaran omzet yang menjadi dasar suatu warung dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Penetapan omzet Rp 60 juta per tahun bagi warung agar dapat dikenai pajak dinilai terlalu rendah dan dapat memukul banyak warung kecil.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, pada 1 Januari 2011, semua warung makan beromzet di atas Rp 60 juta per tahun akan dikenai PPn 10 persen. Perluasan pajak restoran ini diterapkan untuk memenuhi asas keadilan dalam perdagangan makanan dan menambah pendapatan daerah.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR dan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harry Azhar Azis. Menurut Harry, hanya warung makan beromzet di atas Rp 300 juta yang dapat dikenai pajak restoran.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi mengatakan, jika ingin memperbesar penerimaan, Pemprov DKI lebih baik mengintensifkan sistem pajak online dari restoran besar dan hotel. Selama ini, penerimaan dari pajak restoran dan hotel diduga banyak yang bocor karena Dinas Pelayanan Pajak belum berhasil menerapkan sistem online pada semua obyek pajak.
Jika pajak online dapat diintensifkan, penerimaan dari pajak restoran dapat bertambah 40 persen sampai 60 persen. Dalam semester pertama 2010, penerimaan DKI dari pajak restoran mencapai Rp 406.85 miliar.
Berdampak Besar
Pengenaan pajak pada warung makan kecil akan berdampak besar terhadap perekonomian mikro dan kecil. Warung makan akan ditinggalkan pelanggannya dan masyarakat kelas bawah harus membayar lebih mahal untuk membeli makanan.
Sekretaris Fraksi PDI-P DPRD DKI Jhonny Simanjuntak mengatakan, jika warteg dan warung makan kecil lain ditinggalkan pelanggan karena dipajaki, belasan ribu orang akan menganggur. Selain itu, perdagangan bahan makanan di pasar tradisional juga akan tersendat karena tidak terserap oleh warung makanan kecil.
”Lebih baik membina warung kecil agar menjadi besar dan baru dikenai pajak. Di sisi lain, pengawasan pajak yang tidak jelas dapat membuat warteg menjadi sasaran pungli oleh oknum petugas pajak yang nakal,” kata Jhonny.
Sudaryatmo dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, pola pengelolaan warung nasi, termasuk warteg, rata-rata masih tradisional. Penghitungan modal, omzet, dan keuntungan pun tidak pasti seperti pengelolaan restoran modern yang sudah komputerisasi. Hal ini bisa menjadi celah pemerasan dan korupsi pajak.
YLKI merekomendasikan menunda dulu pajak untuk warung nasi sebelum ada penataan, serta pembinaan yang tepat dari pemerintah bagi usaha kecil ini.
Putar Otak
Keputusan Pemprov DKI Jakarta untuk memungut pajak pada warung nasi membuat pemilik merasa semakin sulit. Pemilik warung harus memutar otak agar harga tidak dinaikkan dan pelanggan tidak hengkang.
Rahma, pemilik warung nasi di Petojo, Gambir, mengatakan, kenaikan harga bahan makanan saat ini membuat pemilik warung nasi harus memutar otak agar tetap laku.
”Segala cara kami lakukan, seperti mengurangi porsi. Yang penting, harga tidak naik karena pembeli kami termasuk orang dengan pendapatan pas-pasan. Kalau dipajakin, bagaimana lagi strategi dagangnya,” kata Rahma. (Harian Kompas/03 Desember 2010)
Dari pemaparan kasus di atas mengenai kebijakan pajak warteg maka permasalahan ini penting untuk dikaji, karena rencana adanya kebijakan pajak warteg tentu membuat khawatir sejumlah pengusaha bisnis makanan, termasuk pemilik warung tegal (warteg). Karena hal tersebut dapat membuat keuntungan mereka berkurang. Kalangan masyarakat bawah tentu sangat tidak menyetujui rencana Pemprov DKI ini. Mereka khawatir kalau rencana itu jadi terlaksana, warung-warung makan sederhana yang menjadi pemasok utama makanan untuk para pekerja kelas menengah bawah di Jakarta juga akan terkena pajak. Paling tidak hal tersebut akan menambah beban baru bagi pengusaha warteg itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi alasan pajak warteg tidak dapat diterapkan dimasyarakat?
2. Apa dampak yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pajak warteg tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana menanggapi masalah publik dalam sebuah kasus atau isu mengenai kebijakan pajak warteg dan dampak yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Alasan Pajak Warteg Tidak dapat Diterapkan Dimasyarakat
1. Peran Warung Tegal
Warteg itu sendiri memiliki peran penting bagi masyarakat, sedikitnya ada dua peran penting yaitu peran ekonomi dan peran sosial.
• Peran ekonomi
Yang pertama adalah fungsinya sebagai penyedia makanan, kebutuhan yang paling mendasar, bagi kalangan menengah ke bawah. Konsumen utama dari Warung Tegal biasanya para karyawan, buruh pabrik, sopir, dan pekerja fisik lainnya. Harga yang ditawarkan secara umum jauh lebih murah jika dibandingkan dengan rata-rata restoran atau kafe, bahkan kadangkala lebih murah daripada memasak sendiri. Yang kedua, bukan hanya sebagai penyedia makanan. Warung Tegal juga memiliki fungsi yang khas secara ekonomi yaitu memungkinkan makan dengan cara berutang. Walaupun sepertinya sepele, bagi kalangan menengah ke bawah yang penghasilan per harinya tidak dapat ditentukan dengan pasti, utang menjadi sangat penting, untuk menjaga aliran kas terkelola. Peran ekonomi yang ketiga adalah Warung Tegal sebagai rantai penerus pertanian, atau dengan kata lain pengguna akhir pasokan produksi pertanian.
Dengan demikian kita dapat memandang bahwa di belakang keberadaan Warung Tegal terdapat kehidupan petani sayur, peternak unggas, sapi dan pekerja pertanian lainnya. Peran ekonomi yang keempat, kita tidak boleh melupakan bahwa untuk mengelola Warung Tegal, pemilik mempekerjakan karyawan yang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah juga. Dengan demikian Warteg memiliki fungsi sebagai jaring pengaman ekonomi dengan mengurangi pengangguran di tingkat bawah.
• Peran Sosial
Sebagai tambahan dari peran ekonomi diatas dari Warung Tegal tak kalah pentingnya adalah peran sosial. Selama ini Warung Tegal memiliki fungsi bukan hanya sebagai tempat makan, namun juga tempat untuk bersosialisasi. Di Warung Tegal, konsumen bertukar informasi, berdiskusi, membicarakan berbagai hal yang terjadi mulai dari isu-isu nasional hingga masalah-masalah kemasyarakatan di sekitar mereka. Pertukaran informasi secara horizontal ini selain memiliki fungsi katarsis yaitu penyaluran tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, juga memiliki fungsi laten untuk menjaga kestabilan masyarakat. Dalam diskusi di Warung Tegal, kalangan menengah ke bawah melestarikan nilai-nilai tradisi dan memilih nilai-nilai baru yang sesuai.(sumber)
Para perancang peraturan pajak ini beranggapan bahwa dengan adanya pajak inilah kehidupan rakyat kecil terangkat, karena pendapatan pajak akan dikembalikan dalam bentuk perbaikan infrastruktur dan layanan publik. Hal itu akan berjalan dengan baik jika didukung data yang akurat, jelas, terperinci dan dibangun dengan proses yang hati-hati. Dan untuk membebankan pajak pada usaha mikro seperti warteg harusnya sudah dikaji secara menyeluruh. Sebab jika sampai benar beban pajak itu diterapkan, bukan tidak mungkin masalah baru akan timbul. Jangan sampai rencana tersebut memunculkan lahan pungli bagi petugas pajak. Sebab, secara teknis sangat sulit mendata pendapatan sektor informal ini.
2. Alasan pajak warteg tidak dapat diterapkan :
a. Meskipun jika asumsi itu benar mengenai hasil pungutan pajak akan dikembalikan lagi untuk masyarakat seperti layanan publik, tetap saja penarikan pajak untuk warteg tidak akan meningkatkan dinamika ekonomi di tingkat bawah, bahkan lebih mungkin menekan sehingga pertumbuhan tidak optimal.
b. Secara subtansi Perda Pajak Restoran sudah salah, sebab tidak melalui musyawarah atau kesepakatan dengan masyarakat. Akhirnya Perda yang bersumber dari UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini banyak mendapat pertentangan dari masyarakat bawah, terutama bagi para pengusaha warteg.
c. Struktur dalam Perda Pajak Restoran tersebut tidak memungkinkan dilakukan pengenaan pajak, karena akan terbentur masalah teknis. Tidak ada mekanisme pembukuan yang jelas dalam pengelolaan bisnis rumahan ini, karena pengusaha warung makan menghitung sendiri pajaknya. Hal ini rentan terhadap korupsi.
d. Menyangkut masalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya, banyak sekali masyarakat yang masih belum percaya terhadap pemerintah jika sudah berbicara masalah uang untuk pajak. Mereka kebanyakan berpikir "saya sudah membayar pajak, tapi fasilitas umum masih tidak memuaskan, lalu kemana perginya uang pajak itu?" Inilah yang selama ini membuat kepercayaan masyarakat berkurang, sehingga ketika akan diterapkan kebijakan tersebut banyak sekali yang menolak, karena mereka masih tidak percaya dan mereka takut nanti uang pajak tersebut akan lari ke tempat lain.
e. Kebanyakan orang yang menjadi konsumen warung tegal adalah masyarakat kelas menengah bawah atau yang ekonominya masih lemah. Karena mereka mencari yang murah, banyak, sehat dan bergizi sesuai dengan kemampuan mereka.
2.2 Dampak yang Ditimbulkan dari Adanya Kebijakan Pajak Warteg
a. Jika tetap memaksakan penerapan kebijakan ini, Pemda DKI Jakarta bisa dituduh tidak membela kepentingan rakyat kecil. Kurang bijaksana jika penerapan pungutan pajak dikenakan pada usaha kecil yang selama ini menjadi salah satu faktor pengaman kemiskinan.
b. Para pengusaha warteg akan kontra karena kebijakan ini bukan membuat keuntungan tetapi akan memberatkan hidup masyarakat, karena pajak 10% ini akan dikenakan kepada konsumen warteg dan ini akan mengakibatkan omzet pendapatan menurun karena daya beli masyarakat yang berkurang.
c. Dalam kebijakan tersebut menggambarkan adanya politik perpajakan di dalam tubuh pemerintahan, sehingga terlihat memeras rakyatnya. Karena seharusnya kebijakan ini lebih diprioritaskan/diterapkan pada pengusaha besar daripada masyarakat kecil yang hidupnya tergolong pas-pasan.
d. Dapat menganggu perekonomian masyarakat dan di sisi lain pengenaan pajak tersebut juga tidak adil karena tidak sesuai dengan daya pikul masing-masing orang yang berpenghasilan pas-pasan.
e. Akan berdampak negatif atau bahkan menimbulkan gejolak pada masyarakat. Jika gejolak itu sudah berubah menjadi tindakan destruktif, akan lebih sulit lagi untuk mencegahnya. Hal itu dikarenakan banyak isu dan berita yang belum adanya kepastian mengenai permasalahan tersebut.
f. Apabila pajak warteg tetap diberlakukan maka semakin besar biaya yang harus ditanggung Warteg dan semakin banyak peluang warteg untuk bangkrut. Artinya juga akan mengancam banyak orang yang menggantungkan nasibnya diusaha Warteg.
g. Memperbanyak pengangguran karena semakin kecilnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia akibat usaha warteg yang mengalami bangkrut atau ingin berwirausaha warteg tapi tidak sanggup karena butuh modal yang tinggi.
2.3 Berdasarkan Tinjauannya
1. Tinjauan Empiris
Di mata masyarakat warteg merupakan tempat penyedia makanan yang mendasar bagi kalangan menengah kebawah, biasanya makanan yang disediakan di warteg adalah makanan yang dapat dikatakan harganya standar/sederhana dan sangat sesuai untuk kalangan menengah kebawah. Fasilitas atau keadaan warteg pada umumnya memiliki penampilan sederhana dan hampir sebagaian besar masyarakat mengandalkan usaha warteg untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Warteg juga merupakan rantai penerus pertanian, atau dengan kata lain pengguna akhir pasokan produksi pertanian. Warteg ini merupakan salah satu unit Usaha Kecil Menengah (UKM). Konsumen dari warteg itu sendiri adalah masyarakat kelas menengah kebawah seperti buruh pabrik, kuli, karyawan, sopir dan pekerja fisik lainya.
2. Tinjauan Normatif
- UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
UU No 28/2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan pasal 1 angka 22 dan 23 yang berbunyi :
Pasal 22 Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
Pasal 23 Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
- RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), UU No 28 Tahun 2009.
Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadiUndang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undangNomor 34 Tahun 2000.
www.djpk.depkeu.go.id/document.php/document/article/427/560/
3. Tinjauan Teoritis
- Teori Modal Sosial dari Putnam (1995) menyebutkan bahwa kepercayaan tumbuh melalui keterlibatan (kognitif) dan keanggotaan asosiasional (afektif). Putnam menghubungkan antara kepercayaan sosial dengan pemerintahan yang efektif karena jika masyarakat mempercayai lembaga pemerintah dan orang-orangnya sebagai jujur dan amanah, maka masyarakat akan lebih mentaati hukum. (http://agamfat.multiply.com/journal/item/66/Zakat_Pajak_lagi_lebih_positif).
- Teori yang sesuai dengan permasalahan ini adalah teori pembangunan, untuk Indonesia yustifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil dan makmur. Teori ini menekankan pada Asas ekonomis yang menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat. (http://kedanta.tripod.com/karya.html)
- Dilihat dari aspek sosial maka hal ini dapat merusak kesejahteraan masyarakat golongan menengah kebawah karena hal ini mereka anggap sebagai beban berat bagi mereka.
- Dilihat dari aspek ekonomi dan budaya, melemahnya hubungan peran antar masyarakat karena interaksi sosial yang mereka bangun semakin menurun.
Jika ditinjau: Pemprov Jakarta mengeluarkan rencana kebijakan pajak warteg untuk menambah PAD, sesuai dengan UU No 28 Tahun 2009 tentang “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” yang dgunakan sebagai acuan, tujuannya untuk membangun berbagai pelayanan publik. Akan tetapi jika dilihat dari teoritis dan banyak penolakan dari berbagai golongan khususnya masyarakat sendiri/kelas menengah kebawah dan dampak-dampak yang ditimbulkan. Maka penetapan pajak warteg ini tidak sesuai.
2.4 Analisis Permasalahan
- Dilihat dari segi positivism
Jakarta saat ini memang memerlukan penambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan salah satunya adalah bersumber dari pajak. Fungsinya untuk pembangunan pelayanan publik seperti:
a. Pembangunan infrastruktur jalan-jalan yang rusak atau pembangunan jalan baru untuk mengurangi angka kemacetan di Jakarta.
b. Penghijauan, perlunya penghijauan di Jakarta untuk menanggulangi masalah polusi dan erosi. Penyebabnya antara lain, minimnya pohon di Jakarta akibat banyaknya bangunan seperti gedung-gedung bertingkat, tingginya angka kendaraan di Jakarta yang menyebabkan polusi semakin tinggi.
c. Pembenahan fasilitas publik, seperti jembatan penyeberangan, jalur busway yang butuh pembatas yang lebih aman, pengelolaan limbah sampah yang menjadi penyebab banjir dan sumber penyakit.
- Dilihat dari segi post positivism
Seharusnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya di Usaha Kecil Menengah (UKM) seperti Warung Tegal, mereka harus terus dibina supaya penghasilannya meningkat dan kehidupannya bisa lebih baik bukan untuk dipajaki. Karena, jika melihat keadaan Indonesia yang memburuk saat ini khususnya tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi seharusnya lebih baik mengembangkan kegiatan UKM pada masyarakat daripada hanya memikirkan penetapan pajak untuk menambah PAD. Pengembangan tersebut misalnya, terus memberikan insentif dalam bentuk pemberian kredit murah. Dengan memperkuat modal, diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, usaha kecil bisa tumbuh menjadi usaha skala menengah. Bank-bank BUMN dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan usaha kecil dengan mengalokasikan dana triliunan rupiah dalam bentuk kredit murah. Selain itu pemerintah daerah juga harus menjamin akan memberi bantuan berupa permodalan, pelatihan kesehatan dan manajemen keuangan modern atau subsidi bahan makanan dan peralatan masak untuk para pemilik Warung Tegal. Sehingga, dengan dukungan permodalan dan terjaminnya pelayanan itulah, banyak pengusaha kecil yang akan naik kelas. Setelah naik kelas dan omzetnya besar baru mereka jadi pengusaha yang layak untuk dikenai pajak.
PENUTUP
Ringkasan
Terkait dengan peningkatan pendapatan pemerintah yang menjadi alasan utama ide penarikan pajak warteg ini sebelum merumuskan program baru, masyarakat ingin mengetahui efektivitas program yang telah dijalankan. Apakah aturan perpajakan telah dilaksanakan dengan maksimal, atau masih banyak potensi pendapatan yang belum diatasi secara sempurna. Demikian pula penanganan kebocoran aliran dana perpajakan yang hingga saat ini masih menjadi sorotan publik. Beberapa isu penting yang sekarang menjadi pembicaraan ini menambah pandangan yang negatif pada permasalahan pajak. Tentu saja ini menambah kepedihan masyarakat kalangan menengah ke bawah. Dalam menerapkan peraturan pajak warteg tersebut atau dengan kata lain menciptakan sebuah kebijakan mengenai pajak warteg, seharusnya perancang peraturan tersebut mengkaji dan mengevaluasi kebijakan yang akan dikeluarkan. Apakah sesuai dengan masyarakat atau tidak dan dampak apa yang nantinya akan di timbulkan. Namun dalam mengkaji ulang diharapkan agar memihak ke masyarakat yang ekonominya lemah. Lebih baik untuk masalah pemungutan pajak sebaiknya langsung ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak bukan Pemprov DKI Jakarta, karena sudah menjadi tugas Direktorat Jendral Pajak untuk mengatasi masalah pajak. Dikhwatirkan itu bisa menjadi penyalahgunaan oleh pungli petugas pajak yang tidak bertanggung jawab. Dapat kita lihat bahwa pentingnya peran Warung Tegal baik secara ekonomi maupun sosial, semestinya pemerintah menaruh perhatian besar bagi pemberdayaan dan pengembangannnya. Kebijakan pajak justru kebalikannya justru akan berdampak pada terhambatnya dinamika ekonomi di tingkat bawah.
Pajak Warung Tegal
19.20 |
Read User's Comments(0)
Langganan:
Postingan (Atom)